Sejarah Bulutangkis Di Asia

Catatan sejarah yang lain, juga mengatakan, olahraga bulutangkis berkembang di Mesir kuno sekitar 2000 tahun lalu. Selain disebut berasal dari negara yang memiliki bangunan Piramida tersebut, India dan Tiongkok juga disebut sebagai salah satu negara asalnya. Pada masa kuno itu, bulutangkis yang dimainkan dengan kok tanpa raket dan jaring ini justru menggunakan kaki dengan pola permainan bola kok jangan sampai menyentuh tanah
Tegal Pengekspor Shuttle Cock Dunia

Di kota yang beribukota di Slawi ini, bola kok berkualitas kelas dunia yang dihasilkan tersebut berbahan dari bulu itik Manila (entok). Berbeda dengan produk dari daerah lain yang umumnya menggunakan bahan dasar dari bulu ayam.
Bila bahan-bahan seperti bulu itik Manila yang berkualitas, dijadikan rangkaian bahan membuat kok, oleh rumah industri di Tegal didatangkan dari lokal. Maka bahan berkualitas lainnya yang juga dipilih khusus, seperti lem dan gabus didatangkan tidak dari lokal tetapi dari negara Thailand dan Korea Selatan.
Usaha home industri bola bulutangkis yang tersebar di kota Tegal tersebut banyak dijumpai di kecamatan Tegal Timur dan Tegal Selatan.
Memoar Indonesia Grand Prix Gold : Kapan Lagi?

Tak peduli berapa rupiah yang harus mereka rogoh dari saku masing-masing, untuk mendapat selembar tiket yang mengesahkan kehadiran mereka di bangku tribun stadion. Sesuatu yang unik pun terjadi, memang tak ada calo, tapi tahukah anda, bahwa di Palaran ini tiket sudah dijual sejak hari pertama? Ya, hari pertama. Saat babak kualifikasi saja, panitia telah membandrol seharga Rp 50.000 per lembar. Harga itu berlaku hingga perempat final, sedangkan di semifinal dan final panitia membandrol tiket di angka Rp 100.000.
Jarangnya event besar di kota tersebut, membuat para penonton tak segan untuk mengeluarkan rupiah. Seorang penonton bermana Septy pun tak luput untuk terus merogoh koceknya. Ia mengakui hingga semifinal ia telah menghabiskan Rp 250.000, hanya untuk tiket. Ini artinya ia tak pernah absen menonton sejak hari pertama,
“Kapan lagi ada acara seperti ini. uang yang dikeluarkan tak seberapa, dibanding dengan pertandingan yang bisa di tonton langsung,” tuturnya.
Kota dengan UMR sekitar Rp 800.000 ini memang memiliki biaya hidup yang tinggi. Satu kali naik angkutan umum, yang disana disebut sebagai taksi, adalah Rp 3.000. Tidak peduli sedekat apa anda menggunakan “taksi” itu, anda harus tetap membayar Rp 3.000 mungkin seperti kopaja di ibukota, jauh dekat satu harga.

“Masa sih? Emang pada nggak ngantuk ya,” kelakarnya.
Tapi di malam sebelumnya, segerombolan remaja berhasil mendapatkan foto bersama Aa Opik, panggilan akrab Taufik. Mereka pun langsung membubarkan diri setelah berhasil mendapat foto bersama. Sebut saja Indah, salah satu mahasiswa yang “nangkring” di lobby hotel. Ia memang tak sempat ke Palaran karena studinya, tetapi ia rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar foto. Lagi-lagi komentarnya sama, “Kapan lagi?”
Jalan Berliku Menuju Samarinda


Anda akan takjub melihat pemandangan di sekitar anda, dimana kiri kanan anda hanya ada bukit dan pohon. Mungkin anda pun malah akan berfikir jika Samarinda ini adalah sebuah kota di tengah hutan. Jalur puncak, tak akan apa-apanya jika anda melalui jalur Balikpapan – Samarinda.
Di tengah perjalanan, anda akan menemui sebuah bukit yang dinamakan bukit Soeharto. Konon katanya bukit ini dulu memang dimiliki si pemilik nama, makanya dinamakan demikian. Setelah melalui bukit Soeharto, anda akan melalui perkampungan Suku Bugis, para transmigran dari Pulau Jawa. Rumah sederhana, tapi jangan kaget, di halaman rumah mereka terpasang antena parabola.
GOR Palaran sendiri terletak di pinggir kota Samarinda. Dari hotel tempat saya menginap, saya harus menempuh perjalanan selama 30 hingga 40 menit di kota yang tidak terlalu macet ini. Sebagian besar atlet yang tampil mun mengeluhkan perjalanan yang panjang ini. Tak terkecuali sang juara Tunggal Putri, Ratchanok Inthanon.
“Tempatnya jauh, saya sangat lelah,” ucapnya.
Apalagi dia juga tak jarang harus melakoni partai tiga game untuk menundukkan lawan-lawannya. Bahkan para punggawa Pelatnas pun berkomentar seiring.
“Jalannya parah,” ucap Muhammad Rijal.
Belum lagi fasilitas listrik di salah satu pulau penghasil energy terbesar ini. Bahkan kami para wartawan diperingatkan oleh panitia setempat untuk memberitahukan jika listrik mati.
“Jika listrik mati, tolong diberitahukan kepada kami, akan kami siapkan listrik cadangan,” ucap salah satu panitia.
Satu hal lagi, di dalam stadion anda bisa menemukan pertandingan kelas dunia. Di halaman stadion, saat menjelang malam hingga hari gelap, anda akan menemukan pasar malam. Jika biasanya yang dijual hanya pernak pernik seputar bulutangkis, tapi tidak di Palaran ini. Panggung hiburan dan band tidak ketinggalan ditambah dengan penjual cenderamata, amplang bahkan azimat, ditambah ada permainan sling shot di ujung tempat pameran. Sebuah perjalanan yang tak akan bisa dilupakan siapapun, mungkin Lin Dan akan sedikit kecewa karena tidak turut merasakan berlikunya jalan menuju Samarinda.
Jenna Gozali, Pemain Ganda Putri Masa Depan


Awal tahun 2010, peringkat Jenna Gozali di ganda putri masih berada pada 167 dunia. Memasuki minggu ke 33, peringkatnya menembus 100an dunia. Saat ini berpasangan dengan Variella, bertengger di peringkat 87 dunia.
Dengan umur yang relatif masih muda, serta kemampuan teknik yang mencukupi, harapan Indonesia untuk memunculkan pemain handal di ganda putri ada pada Jenna Gozali. Kita harapkan. (AR).
Bayu Pulang Dengan Kepala Tegak

Kudus – Pupus sudah harapan Bayu Anggriawan Saputra untuk bisa bergabung bersama PB Djarum, dan mendapatkan beasiswa bulutangkis. Namanya tak lagi ada di daftar pengumuman peserta yang berhak untuk mengikuti masa karantina.
"Tidak apa-apa, saya akan tetap berlatih, dan semoga bisa kembali tahun depan," paparnya saat dihubungi via telepon.
Usai sudah perjuangan bocah asal Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah ini. Ada nada kekecewaan dari suaranya di saluran telepon, namun saya yakin ia bukan seorang pejuang yang pantang menyerah. Saat berjumpa dengannya, saya melihat ada tekad dan keinginan besar di balik matanya untuk mewujudkan cita-citanya.
Ya, ia bercerita ingin bisa bermain di kancah internasional, menjadi kebanggaan keluarganya, warga Luwuk bahkan warga Indonesia. Empat hari perjalanan, menginap di pos satpam, dan akhirnya bernaung disebuah kost-kostan sederhana di sekitar GOR Jati, Bayu lakoni demi audisi.
Ia tak bermewah-mewah, ia datang berdua bersama sang ayah, Agus Muchtar. Agus berujar bahwa ia menabung satu tahun untuk bisa datang ke Kudus. Bayu memang tidak datang dari keluarga mapan. Ia datang dari keluarga sederhana, dengan sang ayah yang menjadi supir angkutan umum dan sang ibu yang sedikit-sedikit membantu dengan berjualan barang seadanya.

Biaya sehari-hari selama audisi pun sebisa mungkin mereka hemat. Mereka makan sepiring berdua di warung nasi yang tak jauh dari tempat kost, dimana biasanya Bayu makan terlebih dahulu, dan jika ia sudah kenyang, sang ayah meneruskan makanan Bayu, “Biar hemat,” papar sang ayah.
Mereka pun hanya mengandalkan sepasang sepatu dan sandal yang ada di kaki mereka untuk transportasi. Meski ada banyak becak, mereka memilih untuk menempuh perjalanan selama 15 hingga 20 menit, agar mereka tak banyak mengeluarkan biaya.
Kadang Bayu terlihat minder bila ia bercengkrama dengan peserta lain. Kadang ia malah hanya terdiam, atau hanya mengobrol dengan sang ayah. Tak banyak yang ia lakukan. Tapi Bayu tetap galak di lapangan, di tahap pertama, tahap kedua, tahap ketiga, dan tahap tes fisik.
Begitulah sebuah pertandingan dan kompetisi. Harus ada yang menang dan harus ada yang pulang. Kali ini Bayu harus puas sampai tahap empat dan pulang kembali ke Luwuk, rumahnya dan keluarganya. Mungkin ini memang bukan jalan yang terbaik baginya, tapi saya percaya, Bayu tidak akan menyerah hanya karena satu kegagalan. Saya pribadi akan selalu mendoakan Bayu, meskipun saya tak banyak mengenal dia. Tiga hari audisi proses audisi yang melelahkan, akan bermanfaat baginya dan menjadi pengalaman berharga untuknya. Selamat jalan Bayu, salam untuk keluarga di Luwuk, dan teruslah berlatih! (IR).